Harga Minyak yang Anjlok di Tahun 2020
Pada suatu pagi yang cerah, hari Senin 9 Maret 2020, sambil menyeruput kopi di office saya mengecek kabar hangat apa yang sedang terjadi di dunia. Saya membaca suatu berita dengan Headline kira-kira seperti ini "Kejatuhan Harga Minyak Terburuk". Saya terkejut terheran-heran. Penurunan harga minyak dalam sehari ini merupakan yang terparah sejak tahun 1991. Bukan kaleng-kaleng, dalam sehari anjlok >20%. Apakah penyebabnya?
Penyebabnya adalah tidak terjadinya kesepakatan antar negara penghasil minyak pada pertemuan OPEC+ pada 6 Maret 2020. Kesepakatan pemangkasan produksi yang dilakukan oleh negara tergabung OPEC dan non-OPEC seperti Rusia, yang telah dilakukan beberapa tahun belakangan untuk menstabilkan harga minyak akan expired pada Maret 2020 ini. Pertemuan pada 6 Maret 2020 diagendakan untuk membahas apakah akan dilakukan pemangkasan produksi atau tidak.
Di tengah isu corona, negara-negara OPEC meyakini akan ada penurunan permintaan global ke depannya. Dengan adanya penurunan permintaan global, maka negara OPEC mengajukan kesepakatan untuk pemangkasan produksi (mengurangi supply) agar harga minyak tetap stabil. Ternyata Rusia tidak mau mengikuti ide negara-negara OPEC untuk memangkas produksi minyak, Gan. Rusia ingin melihat dulu efek corona dan ingin melihat bagaimana kondisi industri shale di US.
Arab Saudi yang melihat penolakan Rusia (mungkin ada faktor ++, seperti konflik Syiria) menyatakan siap perang harga secara all out. Arab Saudi bahkan siap memberikan diskon signifikan untuk China (negara importir terbesar di dunia dan customer utama Arab Saudi). Diprediksi Arab Saudi siap menambah produksinya hingga 2 juta bpd. Langkah ini sepertinya juga diikuti negara OPEC lain seperti UEA, Kuwait, & Iraq. Kalau prediksi dan ucapan Rusia & Arab Saudi untuk membanjiri supply minyak benar-benar terealisasi, bukan tidak mungkin kita akan melihat harga minyak berada di kisaran $ 20-an/barrel seperti pada 2015 lalu.
Arab Saudi yang melihat penolakan Rusia (mungkin ada faktor ++, seperti konflik Syiria) menyatakan siap perang harga secara all out. Arab Saudi bahkan siap memberikan diskon signifikan untuk China (negara importir terbesar di dunia dan customer utama Arab Saudi). Diprediksi Arab Saudi siap menambah produksinya hingga 2 juta bpd. Langkah ini sepertinya juga diikuti negara OPEC lain seperti UEA, Kuwait, & Iraq. Kalau prediksi dan ucapan Rusia & Arab Saudi untuk membanjiri supply minyak benar-benar terealisasi, bukan tidak mungkin kita akan melihat harga minyak berada di kisaran $ 20-an/barrel seperti pada 2015 lalu.
Awal Januari 2020 lalu saya pernah membahas tentang dampak kenaikan harga minyak (kala situasi timur tengah yang memanas) pada Indonesia. Saat itu harga minyak sempat naik drastis selama beberapa hari sampai di kisaran $70-80/barrel. Tapi sekarang kondisinya berubah 180°. Harga minyak amblas di kisaran 30$/barrel. Apa dampaknya jika harga minyak terus turun atau stabil di kisaran 20-30$/barrel?
1. Industri Perminyakan bisa makin suram
Beberapa tahun belakangan, setelah harga minyak sempat jatuh di angka 20-an $/barrel, para anggota OPEC & non OPEC sepakat untuk memangkas produksi dan dijaga stabil di kisaran 50-70$/barrel. Ini ada kaitannya dengan industri shale di US yang berkembang pesat. Saat ditemukannya teknologi horizontal drilling & hydraulic fracturing, produksi migas US jadi sangat besar. Namun, produksi shale gas & oil ini baru ekonomis jika harga minyak di atas $50/barrel. Untuk "mematikan" industri shale di US, OPEC+ sepakat memangkas produksi sehingga harganya di kisaran $50/barrel saja. Kalo sampai harga minyak menyentuh $80-100/barrel, industri shale akan bergairah lagi. Makanya harga dijaga agar lama kelamaan industri shale di US "mati". Efek apabila harga minyak di kisaran $30/barrel adalah bisa membuat banyak perusahaan shale oil/gas di US "mati". Sepertinya memang ini yang diinginkan oleh Putin (Rusia).
Putin ingin berperang melawan Industri Shale US |
Selain efek ke industri migas unconventional (shale oil/gas), penurunan harga minyak juga punya efek ke industri migas konvensional. Revenue perusahaan akan turun drastis. Dengan turunnya revenue, kegiatan di luar eksploitasi seperti eksplorasi & pengeboran jelas akan menurun. Bukan bermaksud membuat panik, tapi di harga $50/barrel saja harus diakui kegiatan ekplorasi & pengeboran agak sepi, apalagi jika harganya di kisaran $20-30/barrel. Mungkin headline seperti layoff karyawan migas dan sejenisnya akan kembali menghiasi media seperti saat 2015 lalu. Selain itu, rata-rata lifting cost di Indonesia lumayan tinggi lho. Kalo tidak salah di kisaran belasan dollar/barrel. Hal ini disebabkan karena kebanyakan sumur minyak di Indonesia diproduksikan dari lapangan yang sudah mature (tua). Indonesia juga nggak kaya minyak kok. Jauh banget dibanding Arab Saudi (negara dengan produksi minyak terbesar dunia dan negara dengan proven reserve terbesar kedua setelah Venezuela). Lifting costs di Arab Saudi bisa di bawah $10/barrel. Bahkan menurut Saudi Aramco bisa sekitar $3/barrel.
Lifting Cost Minyak di Saudi Arabia (menurut Saudi Aramco) |
2. Industri energi juga akan terdampak
Minyak dan batubara merupakan barang substitusi. Secara tidak langsung, ada pengaruh ketika harga dari salah satu komoditas ini mengalami pergerakan. Biasa trendnya kalo yang satu turun, yang satunya ikut turun, vice versa.
Trend Harga Crude Oil vs Coal |
3. Multiplier Effect Industri Migas yang Besar
Membicarakan industri minyak, sebenarnya tidak bisa lepas dari berbagai industri terkait, misal: industri pipa, petrochemical, pembangkit listrik, refinery, transportasi, dll. Saya sendiri meyakini bahwa multiplier effect industri migas masih cukup besar. Bukti masih dipandangnya industri minyak sebagai industri yang berpengaruh di Indonesia adalah kebijakan pembangunan kilang di Blok Masela. Ketika itu, pembangunan kilang yang telah direncanakan dibangun secara floating di laut, ternyata diubah dan akhirnya dibangun di darat dengan alasan diprediksi memiliki multiplier effect yang lebih besar. Dengan masih besarnya multiplier effect industri migas, ketika ada sesuatu yang terjadi pada industri minyak maka industri lainnya bisa terimbas (entah positif/negatif).
BOTTOM LINE
Membicarakan industri minyak, sebenarnya tidak bisa lepas dari berbagai industri terkait, misal: industri pipa, petrochemical, pembangkit listrik, refinery, transportasi, dll. Saya sendiri meyakini bahwa multiplier effect industri migas masih cukup besar. Bukti masih dipandangnya industri minyak sebagai industri yang berpengaruh di Indonesia adalah kebijakan pembangunan kilang di Blok Masela. Ketika itu, pembangunan kilang yang telah direncanakan dibangun secara floating di laut, ternyata diubah dan akhirnya dibangun di darat dengan alasan diprediksi memiliki multiplier effect yang lebih besar. Dengan masih besarnya multiplier effect industri migas, ketika ada sesuatu yang terjadi pada industri minyak maka industri lainnya bisa terimbas (entah positif/negatif).
BOTTOM LINE
Indonesia sepertinya akan sedikit diuntungkan dengan penurunan harga minyak ini karena statusnya sebagai net importir minyak. Subsidi energi diprediksi akan turun. Namun, jangan sampai lengah karena bisa menurunkan penerimaan migas (pph migas + PNBP Migas) di APBN.
Asumsi Dasar Makro APBN 2020 |
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) |
Dari segi ketahanan energi juga kita harus was was. Saat ini lifting minyak Indonesia terus turun karena berkurangnya eksplorasi (akibat harga minyak yang hancur di tahun 2015-2016). Jika harga minyak di kisaran $20/barrel, saya khawatir banyak perusahaan migas yang tutup. Perusahaan tutup karena tidak ekonomis lagi. Lifting cost bisa lebih besar dari harga jual. Misal, di Madura offshore, lifting cost mencapai $30/barrel. Jika perusahaan banyak yang tutup dan aktifitas eksplorasi/pengeboran tidak dipacu, kita akan jadi bergantung sekali dengan impor.
Komentar
Posting Komentar