Krisis Finansial 2008 (Penyebab dan Dampak)
Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 mengingatkan kita terhadap krisis finansial yang pernah terjadi pada tahun 2008 yang disebabkan oleh jatuhnya subprime-mortgage market yang mengakibatkan bangkrutnya Lehman Brothers. Krisis tahun 2020 agak berbeda dengan krisis pada tahun 2008. Pada krisis ekonomi tahun 2008, sektor yang terkena dampak paling besar yaitu sektor industri keuangan, khususnya Bank/Investment Bank sedangkan di tahun 2020, sektor keuangan masih cukup stabil dikarenakan yang terkena dampak paling besar adalah sektor riil, khususnya industri manufaktur, restoran, airlines, perhotelan dll.
Krisis Finansial pada tahun 2007-2008 lebih dikenal sebagai "Global Recession". Krisis ini disebabkan oleh fenomena bubble pasar sub-prime mortgage di Amerika Serikat. Pusat krisis yang terjadi di US lalu menyebar ke seluruh dunia, terutama ke Jepang dan Eropa. Pada bulan September 2008, Lehman Brothers mengalami kebangkrutan yang disebabkan oleh eksposur investasi yang besar di sektor subprime-mortgage dan mengalami kesulitan likuidatas ketika terjadi kredit macet besar-besaran subprime-mortgage. Terdapat beberapa penyebab utama terjadinya krisis finansial pada tahun 2008 yaitu dari sektor regulasi pemerintah dan eksposur lembaga keuangan di investasi yang memiliki resiko tinggi. Selain itu Bank Sentral Amerika (The Fed) melakukan penurunan suku bunga pada tahun 2001-2004 yang bertujuan untuk mendorong ekonomi pasca krisis 1998 dan mendukung pemerintah dalam meningkatkan kepemilikan rumah. Penurunan suku bunga tersebut mengakibatkan permintaan terhadap Subprime-mortgage meningkat, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara supply dan demand yang mengakibatkan meningkatnya harga rumah/properti.
Sumber : The Great Recession of 2008-2009 Causes, Consequences and Policy Responses |
PENYEBAB
Terdapat 3 faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya Great Recession antara lain:
1. Deregulation
Terdapat 3 faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya Great Recession antara lain:
1. Deregulation
2. Bank/Investment Bank melakukan investasi besar di suprime-mortgage
3. Lemahnya mitigasi resiko dalam pemberian fasilitas kredit perumahan dan tingginya suku bunga subprime-mortgage.
A. Deregulation
Pada tahun 1990-an, Pemerintah US membuat suatu regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan rumah untuk masyarakat dengan mengadopsi sistem house ownership dari Inggris yang disebut mortgage (hipotek). Mortgage merupakan sistem pemberiant pinjaman dengan adanya perjanjian antara peminjam dengan pemberi pinjaman (Bank/Lembaga keuangan lainnya) untuk membeli suatu aset berupa rumah. Peminjam dapat mengajukan kredit dengan memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya menyediakan down payment (DP) sekitar 20% dan verifikasi penghasilan (income). Sistem tersebut dikenal sebagai Prime Mortgage dikarenakan dengan verifikasi dan manajemen resiko yang ketat. Rumah yang menjadi aset akan disita Bank ketika peminjam tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pada tahun 1992, pemerintah US membuat suatu kebijakan baru dalam rangka meningkatkan kepemilikan rumah yang diperuntukan bagi masyarakat dengan penghasilan rendah dan menengah. Kebijakan ini melahirkan subprime-mortgagedengan beberapa relaksasi persyaratan sehingga dapat meningkatkan kepemilikan rumah di US. Subprime-Mortgage dinilai sangat menarik oleh Bank dikarenakan memiliki suku bunga yang tinggi yaitu dapat mencapai 2x lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga prime-mortgage. Suku bunga yang tinggi memberikan Bank margin/profit yang tinggi dan Bank beranggapan bahwa jika terjadi default Bank dapat menyita rumah tersebut sehingga Bank menganggap bisnis subprime-mortgage sangat menguntungkan & bargaining position Bank tinggi.
Pada tahun 1999 Gramm-Leach Bileley Act, atau yang lebih dikenal sebagai Financial Services Modernazation Act. mencabut the Glass-Steagall Act of 1993 dimana sebelumnya terdapat pemisahan antara investment banking dengan retail banking. Investment bank melakukan kegiatan usaha di pasar saham atau biasa disebut stock market, sedangkan retail banking sebagai intermediasi yaitu melakukan penghimpunan dana (deposit) dan menyalurkannya kedalam bentuk loan (pinjaman). Pemisahan tersebut mengakibatkan retail banking (Bank) tidak diperbolehkan menggunakan dana deposit untuk berinvestasi di instrumen yang beresiko tinggi dan penuh dengan spekulasi. Kebijakan pemisahan tersebut muncul akibat stock market crash pada saat terjadinya great depression, dimana Bank memiliki eksposur portfolio yang tinggi di pasar saham sehingga ketika saham mengalami bubble dan jatuh akan menyebabkan kepanikan bagi depositor (nasabah). Kondisi tersebut akan menimbulkan rush yaitu menarik uang secara besar-besaran di waktu yang bersamaan sehingga Bank akan mengalami kesulitan likuiditas akibat kerugian investasi dan juga penarikan uang besar-besaran.
Dengan dicabutnya The Glass-Steagel Act, Retail Bank diperbolehkan menggunakan dana simpanannya untuk diinvestasikan ke dalam produk derivatif. Salah satu alasan dicabutnya kebijakan tersebut dikarenakan industri keuangan dinilai kurang kompetitif dengan perusahaan asing dan menghasilkan profit yang kecil sehingga pemerintah melakukan deregulasi yang memungkinkan sektor keuangan khususnya perbankan untuk membuat instrumen derivatif. Regulasi memberikan keleluasaan Bank dan investment bank untuk membuat bisnis baru yang dapat menghasilkan profit yang besar, salah satunya dengan membuat produk derivatif dari subprime-mortgage. Bank membuat inovasi produk untuk dijual ke Investment Bank dalam bentuk Mortgage-Backed-Security (MBS) selanjutnya Investment Banking menjual Collateralized Debt Obligation (CDO) yang salah satu komposisinya adalah MBS. CDO sangat diminati oleh investor dikarenakan hasil yang didapatkan lebih menarik dibandingkan produk derivatif yang pernah ada selama ini.
Dengan dicabutnya The Glass-Steagel Act, Retail Bank diperbolehkan menggunakan dana simpanannya untuk diinvestasikan ke dalam produk derivatif. Salah satu alasan dicabutnya kebijakan tersebut dikarenakan industri keuangan dinilai kurang kompetitif dengan perusahaan asing dan menghasilkan profit yang kecil sehingga pemerintah melakukan deregulasi yang memungkinkan sektor keuangan khususnya perbankan untuk membuat instrumen derivatif. Regulasi memberikan keleluasaan Bank dan investment bank untuk membuat bisnis baru yang dapat menghasilkan profit yang besar, salah satunya dengan membuat produk derivatif dari subprime-mortgage. Bank membuat inovasi produk untuk dijual ke Investment Bank dalam bentuk Mortgage-Backed-Security (MBS) selanjutnya Investment Banking menjual Collateralized Debt Obligation (CDO) yang salah satu komposisinya adalah MBS. CDO sangat diminati oleh investor dikarenakan hasil yang didapatkan lebih menarik dibandingkan produk derivatif yang pernah ada selama ini.
B. Sekuritisasi
Seperti yang telah dibahas diatas bahwa salah satu produk yang dibuat oleh Bank/Investment Bank dalam rangka untuk meningkatkan profit adalah dengan membuat 2 Produk yaitu Mortgage Backed Security (MBS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO). Berikut adalah penjelasan singkat dari produk tersebut:
1. Mortgage Backed Security (MBS)
Source: Wikipedia |
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang salah satu core bisnisnya sebagai intermediasi yaitu menghimpun uang dalam bentuk deposit dan menyalurkannya kedalam bentuk kredit (pinjaman). MBS pertama kali dibuat pada tahun 1970 dimana Ginnie Mae sebagai guarantor membuat MBS pertamakali. Selanjutnya pada tahun 1971, Freddie Mac menerbitkan Mortgage Participation Certificate. MBS merupakan produk turunan dari kredit kepemilikan rumah (KPR) yang diberikan dijual Bank kepada Investment Bank untuk menambah likuiditas. Tenor untuk kredit perumahan biasanya cenderung panjang sehingga salah satu cara agak Bank dapat melakukan ekspansi bisnis yaitu dengan menjual kembali portfolio kredit yang dimilikinya tersebut kepada lembaga keuangan lainnya salah satunya kepada Investment Banking. Bank menjual portfolio kreditnya (KPR) kepada Investment Bank sehingga fungsi Bank sebenarnya hanya sebagai perantara antara Investment Bank dengan peminjam KPR. Aset KPR yang dijual kepada Investment Bank dengan harga lebih murah (diskon), agar lebih mudah memahami akan saya buatkan simulasinya yaitu ketika Bank memberikan kredit perumahan sebesar Rp 1 M dengan bunga sebesar 8%, dengan asumsi Bank memiliki customer (peminjam) sebanyak 1000 orang dengan nilai kredit dan bunga yang sama dengan jangka waktu KPR selama 10 tahun, Bank akan mendapatkan uang tersebut kembali (pokok dan bunga) di tahun ke-10. Menjual aset KPR kepada Investment Bank memberikan suntikan likuiditas kepada Bank untuk kembali melakukan penyaluran KPR baru. Investment Bank membeli portfolio KPR dengan harga lebih murah yaitu jika dengan kasus tadi maka Investment Bank akan membeli 1000 aset KPR dengan bunga lebih murah yaitu 5% selama 10 tahun. Bank mendapatkan keuntungan lebih cepat dibandingkan harus menunggu selama 10 tahun. Investment Bank akan mendapatkan uang dari pembayaran bunga dan pokok yang diterima dari customer Bank tersebut selama 10 tahun.
2. Collateralized Debt Obligation dan Credit Default Swap
Source : Investopedia |
CDO adalah produk yang dibuat oleh Investment Bank yang dijual kepada investor dalam bentuk Obligasi. Investment Bank membuat produk tersebut dengan melakukan bundling dari beberapa aset keuangan lainnya salah satunya MBS dan surat hutang lainnya. CDO yang diterbitkan memiliki komposisi MBS yang beresiko, khususnya subprime-mortgage. CDO memiliki beberapa jenis (tranches) dengan resiko yang berbeda-beda dari yang beresiko rendah sampai yang tinggi. Terdapat 3 tranches yaitu senior tranche, mezzanine tranche dan junior tranche. Junior tranche memiliki yield yang lebih tinggi tetapi jika terjadi default (gagal bayar) maka akan dibayarkan paling terakhir. CDO terus berkembang dan lahirlah Credit Default Swap (sejenis asuransi untuk pemegang CDO) dimana terdapat kontrak antara pihak yang membeli proteksi dengan membayarkan premi kepada pihak penjual proteksi. Ketika terjadi default maka pembeli proteksi akan menerima pembayaran dari penjual proteksi.
Salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia adalah The American International Group (AIG) yang bukan hanya menjual asuransi konvensional tetapi juga menjual produk CDS. Investor yang memegang portfolio CDO biasanya juga membeli CDS untuk mengamankan asetnya dengan membayarkan premi ke AIG dan akan mendapatkan pembayaran ketika terjadi default di portfolio CDO yang mereka asuransikan. CDS yang dijual oleh AIG bukan hanya dijual kepada Investor yang memegang CDO tetapi dijual juga ke spekulan tanpa memegang CDO. Hal tersebut dikarenakan tidak ada regulasi yang ketat untuk mengatur CDS. Permintaan CDS meningkat pesat yang mengakibatkan ketidakmampuan AIG Untuk membayar asuransi tersebut kepada pemegang CDS ketika terjadi keruntuhan CDO market. Salah satu pemain besar adalah Investmant Bank yaitu Goldman Sachs dan Lehman Brothers dimana secara tertutup melakukan pembelian CDS ke AIG. Pada tahun 2008 terjadi keruntuhan CDO-Market yang menyebabkan jatuhnya Mortgage-lender yaitu Fannie Mae and Freddy Mac yang di bailout oleh The Fed. Selanjutnya menyebar ke Investment Bank. Bear Stearn diakuisisi oleh J.P Morgan dan Lehman Brother mengalami kesulitan likuidatas dan mengalami kebangkrutan. AIG diambil oleh pemerintah dikarenakan kerugian akibat CDS
C. Kenaikan Suku Bunga The Fed
Salah satu kelemahan utama dari periode 2000-an adalah kegagalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dikonversikan ke dalam peningkatan pendapatan rumah tangga (household income). Sebagai contoh, di tiga negara berkembang utama : Indonesia, Afrika Selatan dan Turki, upah pada tahun 2000-an hampir tidak menunjukkan peningkatan yang signifika. Bahkan di ekonomi dengan tingkat konsumsi yang tinggi seperti US, pendapatan tetap relatif stagnan selama periode ini. Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan spending masyarakat namun tidak diiring dengan peningkatan upah kerja, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadi krisis finansial.
Pada tahun 2001 bank terkena dampak yang luar biasa akibat krisis Mata Uang pada tahun 1997-1998 dan juga krisis akibat bubble dot-com. Pada tahun 2001, The Fed's chairman Alan Greenspan menurunkan suku bunga ke 1,75%, kemudian The Fed menurunkan kembali suku bunga pada tahun 2002 ke 1,25% dan juga menurunkan adjustable-rate mortgage. Subprime-mortgage yang ditawarkan menggunakan fasilitas interest-only loan yaitu dengan bunga yang tinggi (dua kali lipat dari bunga primer) terkena dampak paling besar ketika terjadinya kenaikan suku bunga. The Fed menaikan suku bunga kembali pada tahun 2004 menjadi sebesar 2,25% dan pada akhir tahun 2005 suku bunga menjadi 4,25% dan terjadilah market bubble. Di pertengahan tahun 2006 suku bunga sebesar 5,25%, hal ini menyebabkan peminjam kesulitan untuk membayar bunga. Supply melebihi demand sehingga terjadi penurunan harga di sektor perumahan. Penurunan harga ini menyebabkan mortgage-holder tidak dapat/kesulitan menjual rumah dan hasil penjualan rumah juga tidak cukup untuk mengcover sisa hutang mereka di bank. Sehingga pada tahun 2007 terjadi krisis keuangan yang menyebar ke Wall Street pada tahun 2008, bahkan efeknya juga menjalar ke berbagai negara.
DAMPAK
Dampak ekonomi akibat krisis finansial 2008 sangat besar, khususnya bagi Amerika Serikat dikarenakan sumber utama penyebab krisis sub-prime mortgage berada di Amerika Serikat. Pada bulan Desember 2007, Amerika mengalami resesi ekonomi yang cukup dalam. Pertumbuhan ekonomi Amerika mengalami pelemahan dan turun sebesar 2,7% di tahun 2009. Dampak ekonomi bukan hanya dirasakan oleh Amerika tetapi menyebar keseluruh dunia dikarenakan pada era globalisasi terjadi keterkaitan ekonomi antar negara-negara di seluruh dunia sehingga ketika Amerika Serikat mengalami resesi maka dampaknya menyebar ke seluruh dunia. Penurunan pertumbuhan ekonomi Amerika masih lebih rendah dibandingkan negara anggota G20 dan lebih rendah dari rata-rata ekonomi negara maju (-3%). Selain itu tingkat kemiskinan juga mengalami peningkatan yang disebabkan oleh tingginya angka pengangguran. Pada tahun 2007, tingkat kemiskinan di Amerika Serikat sebesar 12,5%, lalu meningkat menjadi sebesar 15% di tahun 2010.
Di kawasan Asia khususnya di negara-negara berkembang, dampak ekonomi yang dirasakan tidak sebesar yang dialami oleh negara-negara maju dikarenakan kombinasi antara pertumbuhan kredit yang masif dan tingginya defisit transaksi berjalan (current account) di negara maju. Indonesia juga tidak terlepas dari jeratan dampak krisis finansial 2008. Sepanjang tahun 2008, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 11,1% yang dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM di pasar internasional dan juga kenaikan harga bahan pokok. Bursa saham Indonesia juga terkena dampak cukup parah. Antara tahun 2007-2009, IHSG anjlok hingga 50-60%. Bank Indonesia lalu melakukan penurunan suku bunga dari 9,25% pada Desember 2008 menjadi sebesar 7,5% pada awal April 2009 yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Langkah Penyelamatan Ekonomi
Pemerintah US menurunkan suku bunga hingga 0% dan melakukan penyelamatan Fannie Mae, Freddie Mac & AIG yang merupakan salah satu bailout terbesar dalam sejarah US, selain penyelamatan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Pada tahun 2008, The Fed memberikan paket penyelamatan ekonomi sebesar $700 B untuk memberikan stimulus ekonomi.
Referensi:
Tracing the Origins of the Financial Crisis by Paul Ramskogler
What Caused the Global Financial Crisis? - Evidence on the Drivers of Financial Imbalance 1999-2007 - IMF Working Paper
Causes and Effect of 2008 FInancial Crisis - Raphael Bartman
The Great Recession of 2008-2009 Causes, Consequences and Policy Responses - Sher Verick
Investopedia
Komentar
Posting Komentar