KKN Tematik ITB 2016: Survei ke Desa Mekarwangi dan Mekarmulya (Bagian 2 Selesai)

Sebelumnya baca di KKN Tematik ITB 2016: Survei ke Desa Mekarwangi dan Mekarmulya (Bagian 1) 


Minggu, 6 Maret 2016



Pukul 08.00. Kami bergegas berangkat menuju desa selanjutnya yaitu Desa Mekarmulya. Sarapan dan mandi kami lakukan di rumah Pak Kades. Terima kasih Pak Kades yang sudah berbaik hati mengijinkan kami bermalam dan memberikan jamuan makan malam dan sarapan.

Pukul 09.30. Dikarenakan target kami sampai Bandung tidak terlalu malam maka kami menuju Desa Mekarmulya tepat pukul 09.30 Ternyata perjalanan dari Desa Mekarwangi ke Desa Mekarmulya ditempuh cukup sebentar sekitar 15 menit menggunakan mobil. Lima belas menit ini bukan perjalanan menuju jembatannya, tapi baru sampai di kantor Kepala Desanya, Setelah kami meng-drop tim pendidikan (Kak Yongki dan Kak Rafid) di sekitar kantor, tim infrastruktur (saya, Kak Azi, Kak Arif) melanjutkan perjalanan ke jembatan.


Pukul 10.30. Kami menuju jembatan pukul 10.30. Rute menuju jembatan yaitu keluar dari jalan desa Mekarmulya menuju jalan penghubung antar desa lalu masuk ke jalan desa lagi yang menuju jembatan. Perjalanan menuju jembatan ternyata tidak semudah kelihatannya. Kami sempat salah jalan untuk ke jembatan. Jalanan desa yang menuju jembatan berupa jalanan berbatu menurun. Sepanjang perjalanan kami harus memegang pegangan agar tubuh tidak ikut bergoyang-goyang. Pemandangan di sebelah kiri adalah jurang-jurang.

Pukul 11.00. Kami sampai di titik jalan maksimal mobil sekitar pukul 11.00. Mobil hanya bisa mengantar kami sampai disitu, selanjutnya kami harus berjalan untuk ke jembatan. Sebelum ke jembatan, kami dipesankan untuk sebisa mungkin sampai di titik ini sebelum hujan turun. Pokoknya, kalau sudah melihat tanda-tanda hujan misalnya ada tetesan air, langsung kesini. Karena, Pak Sopir takut kalau kami tidak bisa naik ke atas dikarenakan jalan yang kami lewati tadi menjadi licin.

Pukul 11.30. Kami berjalan kaki sekitar 20-30 menit menuju jembatan. Di jalan menuju jembatan, kami melihat warga sedang bergotong royong membangun jalan menuju jembatan dengan batu-batu dari daerah sekitar. Ini merupakan sebuah bukti jika gotong royong di desa ini sangat tinggi. Dari titik jalan maksimal mobil menuju ke jembatan, saya hanya menjumpai 7 rumah.  Lalu tibalah kami di Jembatan Leuwigandol. Dengan pengamatan singkat, kami melihat jembatan ini bisa dikatakan berada dalam kondisi bagus. Ya walaupun lantainya beralaskan kayu, tapi kondisinya tidak separah jembatan sebelumnya. Setelah puas mengukur hal-hal teknis seperti: elevasi, panjang, kondisi anchor dll. Kami mencoba melihat kondisi sekitar. Jembatan Leuwigandol merupakan jembatan yang menghubungkan 2 desa yaitu: Desa Mekarmulya dan Desa Lindung. Jadi, kami juga berusaha survei kondisi di desa Lindung juga. Di sekitar jembatan, ternyata ada beberapa rumah yang lumayan dekat dengan jembatan (hanya beberapa meter), sehingga menurut hemat saya untuk masalah listrik dan penerangan bisa saja menggunakan listrik dari rumah-rumah di desa Lindung ini. Saya melihat juga rumah-rumah disini memiliki daya listrik yang kuat, buktinya ada yang punya kulkas di rumahnya.

Jembatan berlantaikan kayu
Anchor jembatan hanya sebuah pohon besar 
Jembatan Leuwigandol panjangnya sekitar 40 meter 
Arus sungai cukup deras dan dalam

        Setelah itu, kami melihat seorang bapak-bapak, lalu kami mencoba mewawancarainya. Dan ternyata oh ternyata itu adalah bapak kepala Desa Mekarmulya. Awal wawancara Pak Kades menjelaskan apabila jembtan ini baru saja diperbaiki lantainya, sehingga memang saat saya sampai kesini kondisinya terlihat bagus. Karena kami sudah melihat tanda-tanda hujan, kami berusaha secepat mungkin melakukan wawancara ini. Bapak kepala desa ini menjelaskan beberapa hal, yang menurut saya menjawab semua parameter survei ini. Berikut ini adalah intisari dari wawancara kami kepada Pak Kades.
  1. Tingkat gotong royong masyarakat di desa Mekarmulya sangat tinggi. Sudah sering dilakukan kegiatan gotong royong dan yang ikut hampir semua warga. Termasuk memperbaiki lantai jembatan merupakan swadaya masyarakat.
  2. Di sekitar jembatan ini sudah tidak ada mitos-mitos lagi menurut pak Kades.
  3. Material bisa dibeli di kampung Pasir Awi. Drop zone material bisa dilakukan di titik jalan maksimal mobil kami tadi.
  4. Material lokal bambu untuk konstruksi ada di sekitar jembatan.
  5. Pak Kades menekankan bahwa jembatan ini sangat penting bagi masyarakatnya karena masyarakatnya sering pergi ke desa Lindung untuk kegiatan perekonomian seperti: membeli kebutuhan di pasar. Tapi ternyata jembatan ini tidak terlalu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Belum pernah ada pembangunan untuk merombak jembatan. Hanya sekedar peningkatan safety. Pak Kades memiliki mimpi untuk membangun jalan desa melalui jembatan ini sehingga bisa dilalui oleh kendaraan roda 4. Oleh karena itu, sebagai inisiasi, dibangunlah jalan menuju jembatan ini dengan batu-batu. Secara tidak langsung, menyiratkan bahwa Pak Kades ingin adanya pembangunan jembatan beton.
  6. Tukang las belum ada di desa ini.
  7. Hewan buas di sekitar lokasi sudah tidak ada. Maksimal biawak dan ular.
  8. Di desa ini cukup banyak yang berprofesi sebagai tukang batu. Kalau yang tukang kayu, ada tapi tidak banyak. Karena sering diadakannya gotong royong seperti pelebaran jalan, perbaikan longsor, pembangunan jalan maka rata-rata warganya memiliki perkakas seperti cangkul, palu besar (pemecah batu), sekop. Pak Kades sendiri lah yang sering mengomandoi dilakukannya kerja bakti.
  9. Saya merasa Pak Kades benar-benar menyambut rencana kegiatan KKN ini dengan tangan terbuka dan dukungan sepenuh hati. Bahkan malah terkesan sangat berharap apabila rencana KKN di desa ini dilaksanakan.

Sebenarnya saya merasa bahwa wawancara kali ini memiliki beberapa kekurangan. Kekhawatiran kami adalah karena wawancara yang terlalu straight to the point dan narasumber hanya satu. Tapi, karena cuaca saat itu sudah hujan dan takut semakin deras maka kami memutuskan cepat kembali ke mobil sesuai instruksi dari pak Sopir.

Pukul 12.30. Kami sampai di mobil. Hujan saat itu sudah mulai deras. Pengalaman tak terlupakan pun tercipta. Mobil kami cukup sulit naik karena jalanan sudah licin. Akibatnya, sering terjadi slip. Padahal, pemandangan di sebelah kanan adalah jurang. Sepanjang perjalanan kami tak henti berdoa, agar tidak terjadi apa-apa pada kami. Alhamdulillah walaupun dengan susah payah kami selamat dan berhasil sampai di jalan penghubung antardesa. Lalu kami menuju Kantor kepala desa untuk menjemput Kak Yongki dan Kak Rafid.

Pukul 13.30. Kami menunggu tim lain yang sedang survei ke Desa Mekarwangi di sebuah warung. Sambil, menunggu, kami berdiskusi mengenai program Infrastruktur apa yang kira-kira bisa dibawa ke desa ini. Kak Arif yang berasal dari Teknik Sipil 2013 (Ketua SIpil BAngun DESa), mengatakan kalau pembangunan jembatan beton kurang feasible apabila dilakukan mahasiswa. Karena, jembatan ini cukup panjang yaitu sekitar 40 meter maka diperlukan adanya cover dam (pembendung arus sungai sementara). Sehingga, diyakini akan memakan waktu dan biaya yang besar. Jadi, Kak Arif hanya merekomendasikan apabila dibangun jembatan di desa Mekarwangi saja.

Pukul 15.00. Kami masih menunggu tim dari Desa Mekarwangi yang katanya tidak bisa naik karena tadi hujan deras. Sambil menunggu, Kak Yongki menceritakan bagaimana kondisi desa ini secara umum. Ternyata desa ini memiliki permasalahan juga di MCK. Di desa ini masih terdapat banyak balong (tempat buang air). Tapi, tidak separah di desa sebelumnya, Mekarwangi.

Balong, tempat buang air warga Desa Mekarmulya

Pukul 16.00. Sambil menunggu sambil tidur. Sampai bangun lagi, ternyata tim sebelah masih belum bisa keluar dari desa Mekarwangi. Setelah diskusi, kami memutuskan untuk meninggalkan tim 2 dan menunggu di jalan provinsi.

Pukul 16.30. Kami sampai di jalan provinsi. Lalu, kami menghubungi tim sebelah dan Alhamdulillah mereka bisa naik dan melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan untuk menunggu di Alun-alun Talegong. Sambil menunggu, kami berfoto-foto. Hehe.....
Saya dan Kak Rafid di alun-alun Talegong
Kak Yongky
Pemnadangannya bagus bangett
Kak Rafid
Kak Ardi sedang foto ala-ala

Menunggu kira-kira setengah jam di alun-alun Talegong, tim 2 akhirnya sampai. Tanpa merasa bersalah,  mereka malah langsung foto-foto. Hehe....

Wajah tanpa dosa dari tim 2
Tim survei kali ini
Pukul 17.30. Kami beranjak pulang menuju Bandung. Pukul 22.00 sampailah kami di Bandung.

Dari survei ini, setelah berdiskusi, kami merekomendasikan pembangunan jembatan (entah itu gantung atau beton) Cilaki di Desa Mekarwangi. Semoga rencana program ini bisa terlaksana pada bulan Juli-Agustus 2016 nanti dan bisa bermanfaat untuk kehidupan masyarakat. Aamiin.

Survei kali ini memberikan banyak pengalaman tak terlupakan bagi saya. Pengalaman yang membuat saya belajar bahwa ternyata masih banyak daerah di luar sana yang pembangunannya masih berada dalam taraf rendah. Padahal ini adalah Garut, sebuah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kab Bandung (dekat dengan ibukota provinsi). Tapi ternyata ada cukup kesenjangan, terlepas dari topografi daerah yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Bayangkan saja bagaimana kondisi daerah yang benar-benar remote, daerah yang berada terluar di NKRI. Dari cerita Kak Ardi mengenai KKN tahun lalu, 2 desa ini sebenarnya kondisinya masih cukup bagus dibandingkan lokasi KKN tahun 2015. Lokasinya adalah di desa Cikareo, Tasikmalaya. Disana tidak ada sinyal, benar-benar di pelosok (di balik bukit, dibaliknya lagi). Selain itu, kata Kak Ardi menambahkan sebelum mendapatkan lokasi di Garut ini, dia sudah survei ke Cianjur. Daerah ini katanya lebih parah dari ini dan lebih parah dari lokasi KKN tahun lalu di Tasikmalaya. Tidak ada listrik, perjalanan harus ditempuh dengan waktu 10 jam (Kota Bandung-Semarang kira-kira juga 10 jam), padahal Cianjur masih berada di Jawa Barat. Kata Kak Ardi kondisinya memang sangat teramat parah. Namun, karena perjalanan jauh ini, lokasi di Cianjur tidak disetujui oleh LK ITB (Lembaga Kemahasiswaan).


Renungan:
Mahasiswa tidak boleh menjadi menara gading (teringat pidato dari rektor saat penerimaan mahasiswa baru). Melalui kegiatan-kegiatan seperti inilah mahasiswa bisa belajar banyak dari masyarakat. Karena sejatinya belajar itu tidak hanya melulu belajar seperti yang diajarkan di kampus. Tapi, harus dikembangkan beriringan antara belajar akademik dan non-akademik. Dari KKN ini, mahasiswa bisa belajar tentang bagaimana bersosialisasi. Tentang bagaimana kesederhanaan masyarakat. Melalui kegiatan ini pula, mahasiswa bisa belajar mengenai apa yang dipikirkan masyarakat, apa yang dibutuhkan. Sehingga saat menciptakan sebuah teknologi, orientasinya menjadi masyarakat bukan hanya bisnis. Disini pula ajang untuk belajar mengenai multidisiplin ilmu lain. Walaupun saya berasal dari Teknik Perminyakan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal-hal infrastruktur, tapi mengikuti KKN membuat saya mau tidak mau harus belajar mengenai hal keteknisan dalam pembangunan. Walaupun awalnya sangat nol mengenai hal-hal mengenai jembatan, Alhamdulillah, lama kelamaan menjadi terbiasa dengan hal teknis di jembatan.

Selain itu, mahasiswa harus melakukan perannya sebagai agent of change. Harus juga melaksanakan perannya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian Masyarakat.  Tidak penting itu besar atau kecil. Yang paling penting adalah niat tulus dari hati untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. Karena dari masyarakatlah kita berasal, maka akan kembali ke masyarakatlah kita.

Sebuah Quotes teramat dalam dari Tan Malaka..
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ” 

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Alamamater. Merdeka!!

Setelahnya Baca Satu Asa untuk Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Porositas dan Permeabilitas

Metode Numerik dalam C++: Metode Bagi Dua

Krisis Finansial 2008 (Penyebab dan Dampak)